Kamis, 03 April 2014

Pelaksanaan APBD TA 2014 Tersandera “keinginan” Walikota



Meskipun proses pembahasan perda tentang APBD Kota Dumai TA 2014 beberapa waktu lalu telah dilaksanakan melalui pembicaraan tingkat II, yaitu pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului dengan penyampaian laporan hasil pembahasan serta saran dan pendapat badan anggaran DPRD dan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna, sepertinya berita acara persetujuan bersama terhadap RAPBD Kota Dumai TA 2014 tidak ditandatangani oleh Walikota Dumai.

Desas desus itupun berulangkali menjadi “hot isyu” pemberitaan media. Meskipun informasinya agak bias, substansinya tetap jelas bahwa Walikota Dumai hanya memaraf “dokumen” APBD.

Seiring waktu berlalu kebenaran berita tersebut terbukti dengan sendirinya, yaitu ketika salinan surat Gubernur Riau kepada Walikota dan Pimpinan DPRD Kota Dumai kami terima. Surat No: 900/BPKAD/18.04, Perihal Fasilitasi Penyusunan RAPBD Kota Dumai TA 2014 tertanggal 18 Maret 2014 tersebut adalah jawaban atas surat Walikota Dumai Nomor: 903/KEU/190, perihal fasilitasi atas belum adanya kesepakatan RAPBD Kota Dumai TA 2014, tanggal 26 Februari 2014.

Intinya, Gubernur menyarankan agar terhadap keinginan Walikota Dumai untuk Pembangunan Mesjid Terapung Bukit Gelanggang dapat dikomunikasikan kembali dengan DPRD agar tercapainya kesepakatan dan dapat menetapkan persetujuan bersama RAPBD TA 2014. Hal ini sekaligus menjelaskan ke public bahwa persetujuan bersama terhadap Raperda APBD Kota Dumai TA 2014 yang telah dihasilkan melalui pelaksanaan paripurna DPRD tanggal 12 february 2014 lalu tidak diakui Walikota Dumai. Kesimpulan itu juga diperkuat oleh Karo. Keuangan Setdaprov Riau, Jonli, sesuai pernyataannya, Selasa (1/4) di Haluan Riau.  “Intinya belum ada kesepakatan antara Pemko dan DPRD Kota Dumai, Asal ada kesepakatan Mesjid Terapung antara Pemko dan Banggar DPRD masalah selesai” demikian. Meskipun hanya saran, “terobosan” tersebut tentu mempertaruhkan kewibawaan Pemerintah Daerah.
  
Jika DPRD mengakomodir ”keinginan Walikota Dumai, hal itu tentu “mementahkan” keputusan dan persetujuan bersama dalam rapat paripurna. Artinya sama saja DPRD Dumai telah mengangkangi keputusannya sendiri yang lebih dahulu telah disampaikan sebagai  laporan hasil pembahasan serta saran dan pendapat badan anggaran sebelum dilakukan permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh pimpinan rapat paripurna.

Hal itu bukan tidak bisa dirubah, bisa saja. Masalahnya kok maksa kali gitu lhooo…?? Meskipun memungkinkan, perubahan tersebut tentu memakan waktu sehingga hal itu akan semakin mempersulit ekonomi masyarakat yang memang sudah terpuruk belakangan ini.

Sesuai ketentuannya, Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah. Penarikan raperda oleh Kepala Daerah harus disampaikan dengan surat Kepala Daerah disertai alasan penarikan. Hal itupun hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh Kepala Daerah.

Alasan penolakan oleh DPRD atas keinginan Walikota sebenarnya sangatlah jelas. Kegiatan Pembangunan Mesjid Terapung Bukit Gelanggang tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau biasa disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), yaitu dokumen perencanaan Daerah yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya untuk periode 1 (satu) tahun yang disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perwako). Kami juga berharap kepada Walikota Dumai agar tidak selalu “buangbadan” atas kondisi ini. Hal ini terkait pernyataan beliau kepada Dumaipos, Selasa (1/3) lalu tentang kelangsungan proyek air bersih, “Pemko Dumai mengucurkan anggaran sebesar Rp. 10 Milyar dalam APBD Kota Dumai TA 2014. Tahun ini sudah bisa dieksekusi jika APBD sudah ditandatangani gubernur.

Pernyataan tersebut seolah-olah sengaja membentuk opini di-masyarakat bahwa pelaksanaan APBD Kota Dumai TA 2014 terhambat karena APBD belum ditandatangani Gubernur, meskipun kami yakin, sebanarnya Pemko mengetahui bahwa tidak ada tugas Gubernur untuk menadatangani APBD Kabupaten/Kota. Ketentuan tersebut jelas sesuai Permendagri No. 36 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Permendagri No. 16 Tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Rancangan Perkada tentang Penjabaran APBD.

Dalam hal ini tugas Gubernur adalah melakukan evaluasi terhadap Raperda Kabupaten/Kota tentang APBD dan Raperkada tentang Penjabaran APBD, selanjutnya menetapkan hasil evaluasi tersebut dengan Keputusan Gubernur.

Terhadap kondisi ini sebaiknya DPRD Kota Dumai secara resmi segera menyurati Gubernur Riau, menyampaikan kondisi yang sebenarnya sekaligus meminta agar Gubernur mengesahkan Rancangan Peraturan Walikota Dumai tentang APBD TA 2014 agar dapat digunakan Walikota  sebagai dasar penetapan DPA-SKPD sehingga APBD TA 2014 ini bisa segera digunakan.  Bengkalis Bisa, Dumai Berani…??!! ***Trims.


Jumat, 28 Maret 2014

Parah, Pemko Dumai Tak Paham Dengan Perda Retribusi-nya Sendiri



Pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditelah sesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah, perluasan basis pajak dan retribusi telah disertai dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif. Namun demikian, jenis pajak yang dapat dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang, sedangkan untuk Retribusi masih terbuka peluang untuk dapat menambah jenis Retribusi lainnya dengan peraturan pemerintah sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif.  

Diberitakan sebelumnya bahwa berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2012, ternyata tidak ada Rp. 1,- pun penerimaan pada Kas Daerah Kota Dumai yang bersumber dari pungutan retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran dan rasio kemandirian Kota Dumai yang sesungguhnya merupakan perbandingan antara PAD Kota Dumai terhadap Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah, berdasarkan hasil evaluasi Gubernur Riau terhadap APBD TA 2013, penerimaan daerah terhadap Dana Perimbangan sebelum perubahan adalah l6,90%, sedangkan setelah Perubahan APBD meningkat menjadi 18,67%. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemko Dumai dari dana perimbangan sangat tinggi. Di masa mendatang, dalam perencanaan pendapatan daerah yang akan dicapai untuk setiap kelompok pendapatan daerah, Pemko Dumai supaya lebih menyesuaikan dengan potensi nyata dengan tetap mempedomani Peraturan perundang-undangan. 

Atas pernyataan tersebut, kepala BPTPM Kota Dumai bereaksi sebagaimana dimuat diGoRiau.com, Rabu (26/3/2014), dengan enteng menaggapi bahwa sejak tahun 2010, retribusi alat pemadam kebakaran sudah ditiadakan, tidak hanya Pertamina RU II tetapi berlaku untuk semua perusahaan, khususnya di Kota Dumai. Sangat tegas dan lugas penyampaiannya sehingga perlu diapresiasi. Hanya saja menjadi kurang cerdas  karena informasinya tidak dibarengi penyebutan dasar hukumnya. Hendaknya jangan separoh-separoh karena public juga berhak atas informasi tersebut. Kalau memang telah ditiadakan,  tolong sebutkan dasar hukum atau ketentuannya, tak bisa 1 pasal, 1 ayat-pun jadilah. Jangan terlalu reaksionerlah, jadi gak nyambung.

UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tentang itu baru diberlakukan 1 Januari 2010 sedangkan Perda Kota Dumai No. 17 Tahun 2011 tentang retibusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran baru ditetapkan pada Maret 2011. Kami fikir Kepala Dispenda Kota Dumai lebih berkompeten menanggapi hal itu. Ingat, yang kita perdebatkan adalah Undang-Undang Republik Indonesia yang berlaku diseluruh wilayah NKRI. 

Perlu diketahui bahwa Perda Kota Dumai No. 17 Tahun 2011 tentang retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran merupakan penjabaran lebihlanjut dari Pasal 110 ayat 1 huruf ( h ) UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD adalah instrument kebijakan yang sah dalam menyelenggarakan otonomi daerah untuk menggali sumber pendapatan daerah dalam upaya peningkatkan PAD dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah.
Perda Kota Dumai No. 17 Tahun 2011, Pasal 40: ayat 1, 2 dan 3 secara jelas mengatur bahwa:
1. Dengan nama retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran dipungut retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran;
2.    Objek retribusi, tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran yang termasuk dalam golongan retribusi jasa umum dimana objek dari retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran ini adalah pelayanan pemeriksaan dan/atau pengujian alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa oleh Pemerintah Daerah terhadap alat-alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh masyarakat;
3.  Subjek retribusi adalah setiap orang atau badan yang menggunakan jasa pelayanan retribusi pemeriksaaan alat pemadam kebakaran.

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka (11) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan/atau Pasal 1 angka (17) Perda Kota Dumai No.17 Tahun 2011 tentang retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, definisi Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasikolektif dan bentuk usaha tetap. 

Sesuai definisi Badan seperti urai di atas, apakah Kota Dumai tidak berhak melaksanakan pemungutan retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran pada ”pabrik api”  Pertamina RU II maupun industry lainnya…?? Hal ini mohon juga agar di-konfirm-kan ke Pertamina selaku wajib Retribusi.

Kesimpulan sementara kami dalam hal ini hanya ada 2 kemungkinan, yakni otonomi separuh hati atau memang Pemko-nya tak berani. Kedepannya, mungkin perlu dipertimbangkan juga tentang usulan Perda pencabutan terhadap Perda No. 17 Tahun 2011 tentang retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran yang tak berfungsi kepada Pimpinan DPRD Kota Dumai. *** Trims.